DEKAPAN CINTA IBUKU


            Dengan susah payah, rintihan suara yang tertahan, keringat yang mengucur membasahi tubuh ibu, itu semua ibu lakukan demi untuk mengeluarkan aku dari dinding rahim yang gelap, yang sudah tak cukup untuk kutempati lagi.
Aku menangis untuk pertama kalinya berkat usaha ibu yang akhirnya berhasil untuk memperkenalkan indahnya dunia ini padaku. Ibulah yang pertama kali menciumku, membelaiku dan mendekapku dalam pelukannya. Kehangatan cinta ibu sudah kurasakan sejak aku lahir.
            Tak cukup sampai disitu, dekapan cinta ibu selalu tersedia setiap waktu untukku. Namun, cara ibu mendekapkulah yang berbeda dari waktu ke waktu. Ketika aku belajar berjalan, ibu selalu ada untuk membimbingku, memberiku semangat. Ketika aku belum fasih berjalan dan sesekali terjatuh seketika ibu langsung menggendongku dan mendekapku dengan penuh kehangatan. Dalam dekapan cintanya itu, ibu memberikan aku semangat untuk terus belajar berjalan. Hingga tepat usiaku menginjak satu tahun, aku bisa berjalan kesana kemari dengan tak sesekali jatuh lagi. Terimakasih ibu.
            Berkat dekapan cinta ibu sampailah sekarang aku pada usia 15 tahun. Aku mengimpikan bahwa nanti SMA Negeri 2 Yogyakarta akan menjadi tempat belajarku yang baru. Aku tidak sekedar bermimpi, aku berpuasa setiap hari agar Tuhan dengarkan dan jawab doaku. Aku bangun tepat jam 00.00 untuk memohon lagi, karena kutahu Tuhan tidak akan pernah tidur. Aku sudah les di Primagama untuk meningkatkan kualitas otakku yang sederhana, ibu membiayaiku demi terwujudnya impianku. Aku berjuang demi kemauanku, sepulang les di sekolah aku langsung menuju ke Primagama. Begitu rutinitasku menjelang UAN, berdoa sepanjang hari, berpuasa dan belajar keras. Bahkan pernah suatu hari hujan datang dengan derasnya disertai petir yang menyambar-nyambar ditambah lagi angin yang tak seperti biasanya. Aku lalui rintangan itu dengan segenap tekad, SMA Negeri 2 Yogyakarta. Ketika les usai, hujan pun tidak mengizinkan aku pulang, aku menerobosnya dengan sepeda unguku. Padahal di sms, ibu menyuruhku untuk menunggu hujan reda. Tapi sudah 2 jam aku menunggu tetap saja si hujan dengan kekerasan hatinya. Dengan menyebut nama Allah, aku menerobos derasnya hujan, kilatan petir dan angin yang membuat laju sepedaku tersendat.
            Sesampainya aku dirumah, ibu terlihat menungguku dengan kecemasaan yang pasti melanda pikirannya. Maklumlah, ibu mana yang tidak cemas melihat anak gadisnya belum pulang sampai jam 21.00 malam. Ibu merawatku, membuatkanku air panas, membuatkanku teh hangat dan menyiapkan makan malam untukku. Ketika aku tertidur di meja belajarku, ibu menggendongku untuk memindahkan aku ke tempat tidur. Kehangatan dekapan ibu itu sangat kunikmati, seakan aku ingin menghentikan waktu. Sebelum benar-benar bunga tidur menghiasi mimpiku, kurasakan ibu membelai rambutku lalu mencium keningku. Terasa hangat cintanya padaku sampai ke tulang rusukku.
            Saat itu adalah hari kegagalanku pertama kali, 5 Juli 2010. Aku benar-benar menangis terisak-isak saat itu. Aku tak bisa menerima kekecewaanku. Kekecewaan bahwa aku harus menyabut berkas di SMA Negeri 2 Yogyakarta, karena Kartu Keluarga yang berdomisili di  Bantul. Rasanya sakit sekali harus menelan kenyataan yang menyedihkan dalam hidup ini. Itu mungkin kesalahan ayahku yang tidak berganti Kartu Keluarga atau menitipkan aku di dalam Kartu Keluarga saudara ayah. Padahal setiap detik aku sudah mengingatkan ayahku, bahwa kalau aku masih terdaftar sebagai orang Bantul, maka aku hanya mendapat kesempatan 30% dengan NEM-ku yang hanya 35,30. Aku sangat kecewa, dengan rata-rata nilai 8,825 aku masih belum bisa sekolah di pilihan keduaku, SMA Negeri 7 Yogyakarta. Itu semua karena kesempatanku sekolah di Yogyakarta hanya 30%. Ibu miris melihat aku menangis. Dengan pasti, tangan lembut ibu kembali merengkuhku, merengkuh jiwa yang menjerit histeris. Aku merasakan kasih sayang ibu yang begitu hangat ketika aku didekapnya. Jiwaku sejenak merasa damai dan nyaman.
            Dalam perjalanan menuju sekolah yang ditawarkan ibu, dari balik kaca spion motor aku melihat ibu menangis. Ya ibu menangis dibalik kaca helmnya.
            “Bagaimana Gab, kalau sekolah di sini?” Tanya ibuku setelah melihat nilai terendah di SMA Negeri 1 Sewon Bantul.
            Aku masih membisu. Mataku kembali berkaca-kaca. Lalu setitik air menetes membasahi pipiku.
            “Kalau tekadmu harus di SMA Yogyakarta, maka kamu terpaksa nganggur dulu satu tahun, ibu janji akan ganti Kartu Keluarga. Ibu tahu usahamu, ibu tau mimpimu, ibu juga tahu seberapa hancur perasaanmu sekarang. Tapi Gab,”
            “Aku sekolah di sini saja bu” sahutku dengan cepat dan mantap.
            Aku berkata dengan mantap karena aku tahu persis, aku akan melewati semuanya dengan ibu, bersama ibu. Bersama cintanya yang tak berujung.
            “Mimpimu akan tetap berlanjut di sini, ibu tahu itu!” sahut ibu.
            Benar lagu “Kasih Ibu” yang sering kudengar, bahwa kasih ibu kepada anaknya tak lekang oleh waktu, ibu ada di setiap aku benar-benar membutuhkannya, berbagi suka ataupun duka. Ibu tak pernah meminta balasan apapun dari anaknya, seperti surya menyinari bumi dan tidak pernah menuntut bahwa bumi harus selalu tumbuh hijau sebagai balasannya.

Festia Gaby adalah nama pena dari Festia Gaby Disa Putri, perempuan kelahiran Bantul, 10 Desember 1994. Siswa yang masih bersekolah di SMA Negeri 1 Sewon Bantul ini suka tulis menulis tepatnya sejak kelas 1 SMA. Jika teman-teman ingin mengenalnya lebih dekat, teman-teman bisa add “Festia Gaby” di facebook , atau kirimi dia surat via e-mail ke festia.gaby@gmail.com